Kajian akademis, diskusi ilmiah, operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), inisiatif Indonesian Corruption Watch (ICW) dan berbagai usaha terkait kegiatan memerangi korupsi rasanya telah cukup banyak dilakukan di Indonesia. Ekspose di media setiap saat dilakukan, oleh wartaman dan pihak yang mempunyai otoritas. Para politisi, pejabat pemerintah, pengamat dan para akademisi telah banyak memberikan konsep dan solusi memerangi korupsi. Pertanyaan yang mengemuka, kenapa isu korupsi dengan segala macam bentuk dan modusnya masih secara masif dilakukan di Indonesia..?
Penulis mengikuti alur pemikiran Prof. Masudul Choudury, seorang pakar ilmu ekonomi islam yang mengemas konsep dan metodologi pada ukuran wellbeing, suatu kondisi dinamis yang mendeskripsikan “kebajikan atau kemaslahatan rakyat”, dimana ukuran materiil dan non-materiil selalu melekat dan menjadi satu kesatuan dalam setiap variabel yang diukur. Agak rumit memahaminya, dan penjelasan lebih lanjutnya diidentifikasi menjadi 3 premis utama yaitu:
- complexity and endogeneity;
- participatory among agents;
- wellbeing function.
Apapun objectnya permasalahan yang terjadi didunia ini selalu kompleks, terdiri dari banyak sekali variabel, dan tiap variabel bisa diidentifikasi dan diukur dengan beberapa jenis key performance indicators (KPI). Setiap variabel bersifat endogen, yang secara organik mempunyai pengaruh terhadap objek yang diteliti. Karenanya jangan diabaikan, dianggap ceteris paribus atau direduksi. Tahap kedua, bilamana merumuskan suatu formula harusnya melibatkan semua variabel yang ada dengan tingkat partisipasi yang telah diputuskan sebagai suatu kebijakan. Tahap ketiga yang akan menjadi ukuran utama (sebagai dependent variable) haruslah selalu berupa wellbeing, suatu ukuran kemaslahatan rakyat.
Kembali kepada isu korupsi dalam masyarakat, harus dikonstruksikan suatu konsep bahwa korupsi dalam kehidupan masyarakat adalah suatu kondisi yang dinamis. Banyak hal telah terjadi pada masa lalu, banyak hal yang sekarang ini sedang terjadi dan tak sedikit juga potensi kejadian untuk mas yang akan datang. Dan rasanya sudah banyak para pakar, sosiolog, penegak hukum dan kalangan masyarakat lainnya yang mengusulkan diantaranya:
- Miskinkan para koruptor, kembalikan uang negara
- Hukum mati saja
- Terapkan hukum pembuktian terbalik
- Korupsi dilakukan secara berjamaah, teratur, rapi, sulit dideteksi.
- Melibatkan lingkaran dekat kekuasaan yang sulit tersentuh hukum.
- Korupsi sudah merasuk ke seluruh sendi sendi lembaga negara, Legislasi, Pemerintah, penegak hukum.
- Sistem yang kurang baik
- Pejabat yang tak berintegritas
- Budaya materialistik masyarakat
- ... dan masih banyak bahkan ratusan argumentasi dari berbagai sudut pandang bisa dikemukakan.
Dalam kasus memerangi korupsi berdasarkan konsep wellbeing, semua argumentasi punya tingkat kebenaran masing masing, tidak harus diabaikan. Kalau mau berhitung, semua harus dihitung. Dan kalo berhitung hitunglah dengan fokus pengukuran pada “nilai kemaslahatan masyarakat”. Menyadari begitu banyaknya permasalahan yang yang harus diidentifikasi, dievaluasi dan dilakukan koreksi, maka semua orang (masyarakat) harus terlibat dan ambil peranan. Kalo tidak KPK, Polisi, Kejaksaan tidak akan mampu melakukannya sendiri. Setiap orang pasti punya peran untuk berpartisipasi dalam memerangi korupsi.
Kami, Perhimpunan Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK) sebagai bagian dari masyarakat juga mempunyai peran. Dan menyadari terbatasnya sumber daya serta besarnya cakupan permasalahan maka, perlu kiranya kerja sama sinergi dengan komponen masyarakat lainnya. Dalam hal ini kami fokus pada upaya preventif. Lebih lanjut identifikasi preventif korupsi telah dilakukan inventarisasi beberapa variabel sebagai penyebab utama, diantaranya adalah:
- Sosial budaya masyarakat materialistik, konsumeristik. (sebagai variabel X1)
- Pendidikan dasar anti korupsi oleh sekolah formal, oleh orang tua dirumah, oleh pemuka agama/pemuka masyarakat. (sebagai variabel X2)
- Pembenahan sistem yang melibatkan sumber daya dan hak hak publik. (sebagai variabel X3)
- Awareness atau kepedulian masyarakat terhadap properti dan hak hak publik. (sebagai variabel X4)
- Keberanian masyarakat untuk melakukan monitoring dan pengawasan atas semua kegiatan operasional Pemerintah. (sebagai variabel X5)
Berapa banyak variabel-kah yang ada pada permasalahan preventif anti korupsi? Secara teori akan banyak sekali dan cenderung tak terhitung. Karena faktor kapabilitas dan prioritas kita sebutkan saja 5 variabel. Untuk bisa mendapatkan suatu ukuran wellbeing, setiap variabel harus di deskripsikan lebih jelas menjadi beberapa KPI. Selanjutnya pada variabel X1 diidentifikasi menjadi:
- Kesadaran masyarakat bahwa ukuran kuantitas materi bukan sebagai ukuran utama identitas kebanggaan dan keberhasilan pada keluarga, rekan sejawat dan masyarakat sekitar. Akan tetapi kualitas atas materi (moralitas, etika dan nilai nilai sosial) dalam mendapatkan materi, dalam mengelola materi dan dalam membelanjakan materi harus melekat pada ukuran kuantitas.
- Pembelanjaan atas materi untuk resources tertentu, tidak didasarkan pada nafsu, keinginan menguasai, dan mensia-siakan akan tetapi lebih pada kebutuhan. Ukuran moralitas, etika dan nilai nilai sosial harus tetap melekat pada pemenuhan kebutuhan.
- Sikap tidak sportif dalam bekerja, mengalahkan orang lain dengan tidak fair, mengambil hak orang lain/hak publik/hak negara untuk kepentingan diri sendiri agar lebih menonjol, melebihi batas kewajaran. Dalam bekerja perlu memegang teguh moralitas, etika dan nilai nilai sosial.
- Kesadaran masyarakat atas proporsionalitas materi yang dikuasai, menjaga agar disparitas tidak menimbulkan penyakit sosial pada keberagaman pekerjaan, profesi dan tingkat keberuntungan.
- .... dan masih banyak KPI lainnya yang belum teridentifikasi dengan baik.
Selanjutnya ukuran wellbeing, diformulasikan dengan memandang sisi kompleksitas permasalahan maka secara alamiah akan terjadi perlawanan atau constraint oleh pihak yang dirugikan (mengganggu zona nyaman pejabat, misalnya), biaya terlalu besar (tak ada anggaran), masyarakat masih bodoh (mereka perlu uang, bukan program kesadaran masyarakat), perubahan budaya perlu waktu lama (padahal keperluannya mendesak sekarang), banyaknya populasi masyarakat meningkatkan level ketidakteraturan dan kendala lain yang pasti mengemuka di permukaan. Selalu ada yang merasa dikorbankan untuk suatu kebijakan yang bermuatan kebajikan masyarakat. Analisa wellbeing kemudian relevan untuk dilakukan dengan demokrasi, ukuran manfaat dan mudharat yang akan menjadi acuan keputusan. Bila banyak variabel sudah teridentifikasi maka formula wellbeing secara umum digambarkan sebagai berikut:
W(PAK) = k1X1(θ1) + k2X2(θ2) + k3X3(θ3) + k4X4(θ4) + k5X5(θ5) |
Berdasarkan konsep wellbeing, harus diidentifikasi beberapa hal sebagai berikut :
W(PAK) adalah ukuran tingkat wellbeing pada preventif anti korupsi (PAK)
k1, k2, k3, k4, k5 adalah ukuran tingkat kontribusi pada tiap tiap variabel
X1, X2, X3, X4, X5 adalah ukuran kinerja/penilaian kemanfaatan atas tiap tiap variabel
θ1, θ2, θ3, θ4, θ5 adalah ukuran moralitas, etika dan nilai nilai sosial atas tiap tiap variabel.
Secara teknis perhitungan bahwa pada tiap variabel masih perlu dijabarkan lagi menjadi beberapa indikator atau yang sering disebut sebagai key performance indicators (KPI), dan selanjutnya penilaian KPI dikompilasi menjadi penilaian variabel.
Sebegitu kompleksnya permasalahan, maka ada indikasi yang jelas bahwa “keterlibatan masyarakat” mempunyai tingkat partisipasi yang paling besar dalam mensukseskan kegiatan preventif anti korupsi. Selanjutnya, bila pertanyaan diatas diulangi “preventif anti korupsi, darimana memulainya”? Maka GMPK secara jelas menjawab: “kesadaran masyarakat”! Dan bagaimana caranya masyarakat bisa terlibat? Ayo kita gabung dan dukung GMPK, siapkan generasi muda, anak cucu kita menjadi generasi bersih, terjauhkan dari unsur korupsi agar kehidupan mereka nantinya akan menjadi lebih baik.
Dr. Jadi Suriadi
GMPK DPD Banten
The Wellbeing Institute, Jakarta