Upaya pemberantasan korupsi bisa dilakukan melalui upaya-upaya eksternal, seperti yang dilakukan oleh KPK selama ini dan bisa juga dilakukan melalui pembangunan watak dan moral yang baik sejak usia dini. Walaupun upaya eksternal dipercaya bisa mengurangi korupsi sampai batas tertentu, tetapi untuk jangka panjangnya mau tidak mau kita harus mengupayakan proses internal, yaitiu membangun watak dan moral yang baik. Kunci dari pada watak dan moral yang baik adalah integritas diri yang ditandai oleh kejujuran.
Beberapa definisi “Jujur”
Jujur adalah sikap atau sifat seseorang yang menyatakan sesuatu dengan sesungguhnya dan apa adanya, tidak ditambahi ataupun dikurangi. Kata jujur adalah kata yang digunakan untuk menyatakan sikap seseorang. Jika ada seseorang berhadapan dengan sesuatu dan orang itu menceritakan tentang sesuatu itu kepada orang lain tanpa ada “perubahan” maka sikap yang seperti itu disebut dengan jujur. Jadi: Jujur itu APA ADA-nya. Lawan kata Jujur adalah: Bohong, Dusta, Palsu atau dalam bahasa Jawa NGAPUSI.
Integritas Kepribadian.
Menurut Prof Dr Slamet Iman Santoso, pendiri Fakultas Psikologi pertama di Indonesia, yaitu di UI, integritas kepribadian, yaitu ciri kepribadian yang sangat diperlukan oleh seorang pempimpin yang baik adalah paduan antara Kejujuran (Moral) dan Kepandaian (Cerdas). Ada empat kombinasi anatar Kejujuram dan Kepandaian:
- Jujur dan pandai, yaitu Integritas yang tinggi. Orang dengan integritas yang tinggi selalu dipercaya orang, karena yang disampaikannya kebenaran belaka. Apa yang dikatakannya selalu sama dengan kenyataan dan setiap janjinya dipenuhinya. Kecerdasannya menyebabkan ia bisa melihat atau menjelaskan sesuatu yang tidak terpikirkan oleh orang lain.
- Jujur (bermoral) tetapi dungu: Orang seperti ini apa adanya, lugu, tetapi selalu menjadi korban kejahatan orang lain, selalu ditipu dan dikerjain orang lain.
- Pendusta (tak bermoral) tetapi pandai: Inilah tipe orang yang menjadi target KPK, biangnya penipu/koruptor dan penjahat kerah putih lainnya.
- Pendusta (tak bermoral) yang dungu: Tipe ini paling sial. Dia bermaksud mencuri atau menipu orang lain, tetapi karena kedunguannya, kejahatannya selalu ketahuan orang dan akhirnya jadi sasaran dihakimi massa.
Kesimpulan 1.
Seharusnya sejak kecil anak dididik agar jadi orang “Jujur (bermoral) dan pandai”. Tetapi dalam kenyataan anak dijejejali kepandaian tetapi miskin kejujuran. Contoh: apa yang diajarkan guru dan orang tua? Matematika dan IPA (kepandaian). Kalau pun di ajarkan dongeng maka dongeng itu adalah tentang si Kancil yang cerdik tetapi pendusta. Atau tentang Malin Kundang, anak durhaka yang disumpah oleh ibunya menjadi batu. Atau tentang Pinokio yang hidungnya jadi panjang kalau dia berbohong. Walaupun mungkin maksud dongeng-dongeng itu adalah untuk mencegah anak supaya jangan jadi pembohong, atau selalu mengikuti nasihat orangtua, tetapi menurut penelitian, dongeng-dongeng yang mengajarkan nilai-nilai kreativitas, dan hasrat berprestasi yang tinggi, berbarengan dengan nilai-nilai kejujuran akan melahirkan generasi yang lebih berintegritas.
Sementara itu kreativitas tidak pernah mendapat perhatian dalam pendidikan anak, baik di rumah maupun di sekolah. Anak-anak selalu diajari menggambar bebek mulai dengan angka 2 yang diberi sayap dan paruh, sehingga gambar bebek yang dihasilkan selalu menghadap ke kiri.
Begitu juga dengan menggambat bebas. 90% orang Indonesia akan menggambar gunung.
Satu hal lagi yang sangat tipikal dalam pendidikan di Indonesia adalah bahwa orang tua kurang afeksi (mengekspresikan kasih sayang) dan kurang memuji. Sebaliknya, orangtua lebih banyak memarahi. Ini menyebabkan semangat dan motivasi anak akan rendah.
Pendidikan Agama.
Banyak orang berpendapat bahwa masalah rendahnya integritas kepribadian bangsa Indonesia adalah karena kurangnya pendidikan agama. Bahkan di beberapa daerah sudah diterapkan hukum syariah, tetapi hasilnya tetap tidak efektif. Hampir semua tangkapan KPK adalah orang-orang yang mempraktikkan agama dengan baik dalam kehidupan sehari-harinya. Menurut penelitian, hal ini disebabkan karena pendidikan agama hanya diajarkan pada tataran kognitif saja, sehingga timbul standard ganda (STMJ = Sholat Terus, Maksiat Jalan). Salah satu dampaknya adalah timbulnya mentalitas jalan pintas yang sudah menjadi gaya hidup bahkan budaya orang banyak.
Contoh budaya jalan pintas: kasus contek massal di SDN Gadel 2, Surabaya. Pada Ujian Nasional 2011, Alif, murid kelas VI terpandai di SD itu diharuskan oleh Kepala Sekolah untuk membagi contekan kepada teman-temannya. Guru-guru bertugas sebagai distributor contekan ke kelas-kelas lain. Target Kepala Sekolah: lulus 100%. Tetapi Alif tidak senang dan melapor kepada ibunya. Ibunya melapor kepada Kepsek dan Kepsek melakukan sidang POMG, Dampaknya malah orangtua Alif dituduh fitnah dan diusir dari desa Gadel 2. Setelah Mendiknas campur tangan barulah Alif dinyatakan tidak bersalah dan direhabilitasi namanya sehingga keluarganya bisa pulang ke rumahnya di desa Gadel, Surabaya.
Ciri lain dari rendahnya integritas kepribadian orang-orang Indonesia adalah maraknya Mentalitas Hedonisme, yaitu mencari kesenangan sesaat tanpa berpikir panjang akan akibatnya seperti anak-anak yang sudah belajar merokok atau hubungan seks tanpa kendali. Juga timbul Mentalitas egoisme, hanya mementingkan diri sendiri, mau menang sendiri seperti geng motor yang tidak peduli akan keselamatan orang lain, atau pejabat yang terang-terangan kawin lagi (dengan mengatas namakan hukum agama) tanpa memperhatikan tata krama masyarakat. Dan jangan dilupakan mentalitas munafik, yaitu suka menggosipkan kejelekan orang lain, padahal kelakuannya sendiri tidak jauh-jauh dari kelakuan orang yang digosipkan.
Teori Kejahatan dari Cesare Lombrosso
Cesare Lombrosso (1835-1909) adalah pakar ilmu tenyang Kejahatan (Kriminolog) yang mengemukakan teori Delincuanto Nato, yaitu bahwa kejahatan adalah sifat bawaan sejak lahir (born criminal). Bahkan wajah-wajah penjahat punya ciri-ciri tertentu sehingga dapat diketahui apakah seseorang itu penjahat atau tidak dari pengamatan terhadap raut wajahnya. Teori ini disebut juga teori Nativisme dalam Kriminologi.
Tetapi kalau kita perhatikan raut wajah terpidana KPK maka sulit untuk kita mengatakan bahwa mereka berwajah tipikal Lombrosso, sehingga teori Nativisme bisa dipatahkan, dan sekarang orang lebih percaya kepada teori Empirisme, yaitu bahwa sifat-sifat itu dibentuk oleh hasil belajar dan pendidikan sejak kecil.
Kesimpulan 2
Kejahatan berbasis kurangnya integritas bukan bawaan sejak lahir, melainkan hasil proses belajar (empirisme). Penyebabnya: pendidikan yang terlalu menitik beratkan pada kecerdasan (rasio), sehingga hasilnya adalah generasi Rasionalisasi (yang mencari Pembenaran), bukan generasi yang Rasional (mencari Kebenaran).
Kesimpulan 3 (akhir)
Untuk menuju Generasi Berintegritas kita harus kembali ke pendidikan keluarga berbasis Afeksi dan kembali ke “Happy Big Extended Family”.