I. PENDAHULUAN
Di Indonesia permasalahan korupsi begitu sering terdengar, seolah-olah telah menjadi tradisi ataupun keharusan dalam memenuhi kepentingan-kepentingan yang bersinggungan dengan kekuasaan maupun wewenang yang diberikan oleh negara, karena dengan adanya tindakan tersebut akan mempengaruhi semua dimensi kehidupan baik politik, ekonomi dan budaya. Kehancuran moral atas prilaku tersebut menjadi sesuatu yang wajar tanpa beban- beban psikologis yang dihadapkan dengan norma-norma kehidupan, hal ini berarti kegagalan penilaian terhadap suatu yang baik dan buruk serta berpengaruh pula dengan perkembangan psikologis kepribadian itu sendiri, yang akhirnya akan menjadi "bom waktu" atas kehancuran bangsa ini.
Sarana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sudah begitu banyak dibentuk, dimulai dengan adanya produk peraturan perundang-undangan, kerjasama antar lembaga baik melalui nota kesepahaman maupun kesepakatan bersama, lembaga swadaya masyarakat (LSM) pemerhati permasalahan korupsi, serta adanya kerjasama-kerjasama dengan negara lain baik yang bersifat formal maupun non-formal. Pemberantasan korupsi tidak saja berdimensi hukum melainkan pula berdimensi sosiologis, sehingga memerlukan penanganan dan komitmen bersama untuk menentukan pencegahan dan penyelesaian terjadinya tindak pidana korupsi.
Korupsi secara terminologis berasal dari kata Corruptio atau corruptus yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Sedangkan arti secara harfiah dinyatakan sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, penyimpangan dalam kesucian yang bernuansa menghina atau memfitnah, sedangkan dalam bahasa Indonesia kata korupsi diartikan sebagai perbuatan buruk, seperti penggelapan uang penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Menurut Prof. Dr. Syed Husein Alatas guru besar Universitas Singapura menyebutkan terdapat 7 (tujuh) tipologi atau bentuk dan jenis korupsi korupsi yaitu
- Korupsi Transaktif (transanctive corruption), adalah jenis korupsi yang menguntungkan pihak-pihak yang bersepakat, biasanya melibatkan dunia bisnis dengan pemerintah;
- Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), adalah pemberian keuntungan maupun kekayaan kepada keluarga, saudara atau kroni-kroninya dengan cara penyalahgunaan kekuasaan atan wewenang;
- Korupsi yang memeras (extortive corruption) adalah pemaksaan kepada pihak tertentu dengan ancaman dan tekanan terhadap kepentingan-kepentingan orang-orang dan hal-hal yang dimilikinya;
- Korupsi Investif (investive Corruption), adalah memberikan sesuatu baik berupa jasa maupun barang kepada pihak lain demi keuntungan dimasa yang akan datang;
- Korupsi Defensif (defensive corruption), adalah pihak yang akan dirugikan terpaksa ikut terlibat didalamnya atau bentuk ini membuat terjebak bahkan menjadi korban perbuatan korupsi;
- Korupsi Otogenik (outogenic Corruption), adalah korupsi yang dilakukan sesorang diri (single fighter), tidak ada orang lain atau pihak yang terlibat;
- Korupsi suportif (supportive corruption), adalah korupsi dukungan dan tidak ada pihak lain yang terlibat.
Dengan adanya 7 (tujuh) tipologi tersebut, dapat dinyatakan di indonesia lebih banyak terjadi pada korupsi transaktif, terutama pada terjadinya suap maupun komisi baik terkait dengan perencanaan maupun penyusunan rencana anggaran negara atau daerah (APBN/APBD), maupun perencanaan proyek-proyek pembangunan, selain itu dalam perkembangannya telah terjadi transnational corruption yang melibatkan pihak investor negara asing baik dalam bentuk illegal logging, mark up, proyek pertambangan yang kerugiannya mencapai miliaran dolar melalui penyalahgunaan kewenangan.
II. PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERSPEKTIF YURIDIS-NORMATIF BERDASARKAN KETENTUAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Validitas norma hukum menjadi bentuk perundang-undangan bertujuan untuk melindungi subyek hukum dalam melakukan tindakan hukum menurut norma umumnya (undang-undang). Kepastian hukum terhadap perlindungan hukum dalam sistem normatif hukum dapat diterapkan jika tata hukum positif berjalan secara konsistenmenurut norma umumnya. Definisi kepastian hukum mempunyai dua segi, yaitu;
Pertama-tama berarti soal dapat ditentukannya hukum dalam hai-hal konkrit: pihak-pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui, apakah yang menjadi hukumnya dalam hal khusus, sebelum memulai dengan perkara, yang kedua : kepastian hukum berarti keamanan hukumnya, artinya perlindungan hukum bagi para pihak terhadap kewenangan hakim
Definisi kepastian hukum tersebut diatas tidak berlaku pada hubungan hukum yang berdasarkan hukum kebiasaan, karena dengan keberlakuan hukum kebiasaan disamping undang-undang, maka akan mengurangi keberlakuan undang-undang itu sendiri. Penerapan hukum kebiasaan yang menjadi landasan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara diluar undang-undang disebut pula hukum kebiasaan yurisprudensi dan biasanya keberlakuan tersebut dipergunakan pada sistem common law atau lebih dikenal dengan judge made law.
Pemberlakuan kaidah hukum yang telah dipositifkan menjadi kaidah perilaku tentunya bergantung pada perlindungan hukum yang hendak dicapai oleh negara atau pembuat undang-undang politik hukum tercapai tanpa landasan suatu system hukum yang dinamakan asas-asas hukum. Asas-asas hukum merupakan kaidah penilaian dari suatu sistem hukum positif dan merupakan fondasi dari sistem tersebut. Asas hukum menurut Robert Alexy adalah;
bahwa hanya asas yang menjalankan fungsi yang pertama adalah asas hukum, karena hanya asas ini yang termasuk dalam hukum positif. Asas- asas yang menjalankan fungsi yang kedua menurut pendapatnya berkenaan dengan kaidah-kaidah etis dan idea-idea filsafat negara, bukan tentang asas-asas hukum.
Perlindungan hukum tersebut akan nampak hanya pada saat terjadinya penyelesaian konflik norma yang berkaitan dengan preferensi hukum yang meliputi asas lex superior, asas lex spesialis, dan asas lex posterior yaitu pengingkaran, reinterprestasi, pembatalan dan pemulihan. Konflik norma tersebut dapat diselesaikan berdasarkan karakteristik masing-masing norma yaitu termasuk norma yang terbuka atau norma yang tertutup (tidak dimungkinkan adanya analogi).
Penerapan unsur pidana kedalam pemidanaan melalui interprestasi sangatlah bergantung pada asas-asas hukum pidana, sehingga perbuatan itu dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum dalam suatu undang-undang, baik yang bersifat umum (KUHP) tetapi juga yang khusus (undang-undang pidana yang kemudian). Perbuatan melawan hukum diartikan sebagai kekeliruan yang memenuhi rumusan ketentuan undang-undang pidana tertentu, karena setiap undang-undang yang menempatkan perbuatan melawan hukum menjadi bagian undang-undang lainnya bergantung dari karakteristik masing-masing norma umumnya.
Uraian diatas sangatlah berbeda dengan penerapan unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pada pasal 14 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan;
bahwa "setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini."
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa jika terdapat tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh subyek hukum yang melakukan pelanggaran undang-undang tertentu maka akan dipidana berdasar undang-undang korupsi, tidak dengan ketentuan undang-undang yang dilanggar. Jadi keberlakuan undang- undang korupsi tersebut diberlakukan pula untuk hubungan hukum yang bersifat administrasi dan keperdataan yang dapat menimbulkan kerugian negara, dengan mengabaikan undang-undang dari masing-masing hubungan hukum.
Sebagai contoh tindakan hukum dari pelanggaran ketentuan undang-undang lain yang dianggap sebagai tindak pidana korupsi dan dipidana berdasarkan undang-undang korupsi dengan tidak berdasarkan ketentuan undang-undang yang dilanggar yaitu, tindakan hukum yang melanggar ketentuan pasal 78 undang-undang Nomor: 41 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang kehutanan yang masing-masing tindakan hukum tersebut secara langsung merugikan keuangan negara yang seharusnya menjadi salah sumber penerimaan keuangan negara jika pemanfaatan hutan tersebut mendapatkan ijin dari pemerintah.
Dengan adanya pasal 14 undang-undang korupsi tersebut, maka karakter hubungan hukum yang terjadi akan diabaikan pada saat kemungkinan atau telah terjadinya tindak pidana korupsi, maka dengan pelanggaran terhadap undang-undang atau norma umumnya yang bersifat pemidanaan, hubungan hukum tersebut dinyatakan telah memenuhi rumusan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang bersifat melawan hukum yang formil. Luasnya wilayah penerapan pasal 14 tersebut disebabkan hampir setiap produk undang-undang terdapat ketentuan pidana didalamnya, sehingga melawan hukumnya perbuatan tersebut mencakup pula ketentuan-ketentuan yang menurut sifat dan karakter perlindungan hukum sangat berbeda dari setiap masing-masing undang-undang, baik dari sisi konsep pembentukan maupun wilayah penerapannya.
Selain itu Penerapan pasal 14 tersebut merupakan wujud nyata diberikannya peran serta masyarakat baik berbentuk lembaga swadaya masyarakat maupun kelompok-kelompok tertentu yang peduli terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi, apakah diawali dengan ketentuan lingkungan hidup, kehutanan, pertambangan maupun undang-undang lainnya, hal tersebut tidak menjadi konflik penerapan dan secara langsung dapat dikenakan pasal 2 atau 3 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi.
III. PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS
Untuk mengetahui terjadinya tindak pidana korupsi dapat dikaji melalui analisis kriminologi khususnya digunakan untuk memeberikan petunjuk bagaimana masyarakat berperan serta mencegah dan menanggulangi perbuatan koruptif. Bagian dari teori kriminologi untuk mengungkap sebab-sebab kejahatan korupsi, disebut sebagai pendekatan sosiologi kriminil yaitu "pengetahuan tentang kejahatan sebagai gejala masyarakat atau sampai dimana letak sebab-sebab kejahatan dalam masyarakat (etioiogi sosial).
Menurut Barda Namawi Arif, Permasalahan korupsi disebabkan karena korupsi berkaitan erat dengan kompleksitas masalah lain yaitu;
masalah sikap mental/moral, masalah pola/sikap hidup dan budaya sosial, masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi dan struktur/sistem ekonomi, masalah lingkungan hidup/sosial dan kesenjangan sosial ekonomi, masalah struktur/budaya politik, masalah peluang yang ada dalam mekanisme pembangunan atau kelemahan birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan umum.
Sedangkan pada tataran hukum menurut IGM NURDJANA adalah memberdayakan seluruh potensi penegak hukum dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi antara lain meliputi:
- Pemberdayaan lembaga-lembaga hukum seperti lembaga legislatif (DPR), lembaga eksekutif termasuk penegak hukum (PPNS, Polri, Jaksa, Hakim, Lembaga Pemasyarakatan, Advokat), yudikatif (pengadilan) dan lembaga lain tentang kesetaraan partisipasi pemberantasan tindak pidana korupsi.
- Pemahaman tentang penegakan hukum tindak pidana korupsi dengan penerapan hukum formal sesuai prosedur pada lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan untuk itu.
- Tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) yang berintegritas, profesional dan memiliki kompetensi di bidang penegakan hukum .
- Fasilitas, sarana dan prasarana yang memadai dalam penegakan tindak pidana korupsi.
- Berperannya lembaga-lembaga kontrol atau pengawasan institusional penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Seperti halnya dinyatakan oleh Maria Hartiningsih (editor) dalam bukunya "Korupsi yang Memiskinkan", korupsi dipandang sebagai kasus-kasus penjarahan uang triliunan rupiah yang terus dilindungi demi kepentingan politik serta penjarahan sumber daya alam atas nama "pembangunan" yang sebenarnya tidak lebih dari proyek dan perburuan rente, adalah kejahatan besar yang tidak pernah dianggap sebagai kejahatan dan mengutip dari Mahatma Gandhi dinyatakan sebagai "Poverty is the worst form of violence" (Kemiskinan adalah bentuk terburuk dari kekerasan).
Dari sekian uraian sebab-sebab terjadinya korupsi Robert Klitgart menyarankan lima kategori anti korupsi dalam suatu kerangka kerja, yaitu:
- Memilih Pegawai
Melalui teknik-teknik sistematis untuk mengidentifikasi terlebih dahulu para pegawai dan pemeriksaan latar belakang - Mengubah Imbalan dan Hukuman
Membuat suatu sistem yang lebih baik untuk mengukur prestasi kerja dibarengi dengan imbalan-imbalan (kenaikan pangkat, hadiah, pujian) dan hukuman (pemecatan, publicitas tentang tindakan korupsi dan nama para pelanggarnya) - Mengubah Struktur Hubungan Atasan-Pegawai-masyarakat
Melalui pengurangan kewenangan serta kekuasaan monopolinya terhadap masyarakat - Mengubah Sikap Terhadap Korupsi
Dilakukan melalui seminar-seminar tentang perbuatan koruptif dan menyakinkan masyarakat tentang bahaya korupsi mulai Drama televisi sampai poster-poster dan materi pendidikan bagi sekolah dasar. - Mengumpulkan dan Menganalisis Informasi
Mengumpulkan informasi berarti meningkatkan peluang bahwa korupsi akan terdeteksi dan dihukum, seperti memanfaatkan pembukuan sederhana, sistem informasi dan control, penilaian kerawanan, dan petugas yang menyamar, atasan berusaha memperoleh informasi tentang pegawainya dengan mengkaitkan imbalan dan hukuman dengan informasi yang diperoleh, para penyusun kebijakan dapat mengubah insentif-insentif bagi para pegawai sehingga menjadikan korupsi terlampau berbahaya untuk dilakukan.
Berbeda halnya dengan pengamat lain yang dikutip oleh Jeremy Pope dalam bukunya "Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas Nasional" yang menyatakan bahwa partisipasi dalam memberikan suara pada saat pemerintah terbuka dengan informasi, maka;
- Publik yang banyak mendapat informasi dapat berpartisipasi lebih baik dalam proses demokrasi;
- Parlemen, pers dan publik harus dapat dengan wajar mengikuti dan meneliti tindakan-tindakan pemerintah; kerahasiaan adalah hambatan besar pada pertanggungjawaban pemerintah;
- Pegawai negeri mengambil keputusan-keputusan penting yang berdampak pada banyak orang dan pemerintah harus menyediakan informasi yang lengkap tentang apa yang dikerjakan;
- Arus informasi yang baik menghasilakan pemerintahan yang lebih efektif dan membantu pengembangan kebijakan yang lebih fleksibel, dan
- Kerjasama publik dengan pemerintah akan semakin erat karena informasi yang semakin banyak tersedia.
Keterbukaan Informasi tersebut telah dilindungi melalui Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang keterbukaan Informasi Publik, yang konsiderannya menyatakan sebagai berikut;
- Bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional;
- Bahwa hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjujung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik;
- Bahwa keterbukaan informasi publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik;
- Bahwa pengelolaan Informasi Publik merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan masyarakat informasi;
IV. PERAN PENYIDIK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Di Indonesia berdasarkan ketentuan perundang-undangan nasional terdapat 3 (tiga) lembaga penyidik dalam pemberantasan korupsi yaitu penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi, Penyidik Pada Kejaksaan RI, Penyidik pada Kepolisian RI. Menurut Indriayanto Seno Adji perlu adanya penguatan dan pemantaapan hubungan kelembagaan pencegahan dan pemberantasan korupsi melalui pendekatan strukturisasi yaitu suatu tindakan yang terintegrasi melalui integrated criminal justice system yang memiliki arti diantara penegak hukum harus memiliki suatu balance and equal power.
Keseimbangan dan pelaksanaan kewenangan ini bertujuan menghindari adanya diskriminasi kewenangan yang akan menimbulkan disintegrasi penegakan hukum, maka diperlukan adanya suatu undang-undang penegak hukum (law enforcement official act) dikarenakan eksistensi penegak hukum terbentuk secara parsial (setiap lembaga penegak hukum memiliki undang-undangnya sendiri) yang akhirnya pelaksaanaan penegakan hukum menjadi impararelitas penegakan hukum.
Saat ini undang-undang penegak hukum sebagaimana dimaksud diatas tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan nasional, namun untuk mengatasi disintegrasi tersebut baik KPK, Kejaksaan dan Polri telah banyak membuat suatu kesepakatan bersama dalam pemberantasan korupsi yang didalamnya mengatur tentang koordinasi antar lembaga, sehingga efisiensi dan efektifitas penanganan perkara lebih mudah untuk dijangkau.
Kesepakatan bersama tersebut salah satunya adalah berkenaan dengan pemetaaan 10 (sepuluh) area rawan korupsi tahun 2012 antara Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri dan Sekretaris Jenderal Komisi Pemberantasan Korupsi yang didasari dengan;
- Instruksi Presiden Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberatasan Korupsi;
- Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 2012;
- Kesepakatan Bersama antara Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Ketua Komisi Pemberatasan Korupsi Nomor KEP-/A/J.A/03/2012; Nomor /01/03/2012 tanggal 12 Maret 2012;
- Rapat Koordinasi antara Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Badan Reserse Kriminal Polri dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi pada tanggal 12 Maret 2012.
V. FENOMENA KORUPSI SEBAGAI WHITE COLLAR CRIME
- Latarbelakang
- Crimen in upper, or white collar class, which is composed ofrespectable, or at least respected, bussines and profesional men (Edwin H. Sutherland)
- Pelaku korupsi berasal dari kalangan profesional, yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan dan menguasai prosedur birokrasi, sehingga memahami benar bagaimana menjalankan "sistem operasional prosedur" dan bagaimana pula menyiasatinya;
- Pelaku korupsi sebagai "profesional fringe violate".—► Artinya perbuatan itu sulit terlihat karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan normal rutin, yang melibatkan keahlian profesional dengan sistem organisasi yang kompleks (Muladi).
- Korupsi versi UU No. 31/1999 Jo. UU No. 20/2001
Setiap perbuatan melawan hukum tidak selalu dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atau bergantung sifat melawan hukumnya, hal ini sesuai dengan pendapat Moeljatno yang di ungkapkan pada saat Dies Natalis Universitas Gajah Mada yang ke-6 yaitu;
"Bahwa jika menghadapi suatu kata majemuk perbuatan pidana, pokok pengertian harus mengenai kata yang pertama, disini perbuatan, dan tak mungkin mengenai orang yang melakukan perbuatan, yaitu disebabkan karena orang yang melakukan tindak tersebut disitu, sekalipun diakui kebenaran ucapan Van Hattum, bahwa antara perbuatan dan orang yang berbuat ada hubungan yang erat dan tak mungkin dipisah-pisahkan. Maka dari itu perbuatan pidana dapat diberi arti perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, "barang siapa melanggar larangan tersebut".
Dengan demikian pokok pengertian tetap pada perbuatan, kata yang pertama dari yang majemuk tadi. Apakah inkonkrito yang melakukan perbuatan tadi sungguh-sungguh dijatuhi pidana atau tidak, itu sudah diluar arti perbuatan pidana.
Asas Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sit Rea menyatakan bahwa suatu perbuatan tak dapat menjadikan seseorang bersalah bilamana maksudnya tak bersalah (Zainaf Abfdfn Farid, 1995: 47).
Di beberapa negara, perbuatan dan sikap batin seseorang dipersatukan dan menjadi syarat adanya suatu perbuatan pidana. Zainal Abidin Farid berpendapat bahwa unsur actus reus yaitu perbuatan harus didahulukan. Setelah diketahui adanya perbuatan pidana sesuai rumusan undang-undang selanjutnya barulah diselidiki tentang sikap batin pelaku atau unsur/nens rea. Dengan demikian maka unsur perbuatan pidana harus didahulukan, selanjutnya apabila terbukti barulah mempertimbangkan tentang kesalahan terdakwa yang merupakan unsur pertanggungjawaban pidana.
- Pencegahan Pemberantasan Korupsi dapat dibagi menjadi tiga bagian, sebagai berikut;
- Edukatif
- Pendidikan formal/informal
- Cultural approach
- Pendidikan moral
- Preventif
- Waskat dan wasnal
- Perbaikan sistem
- Bussines process
- Economy Approach
- Reformasi Birokrasi
- Represif
- Pelaporan masyarakat
- Penyelidikan
- Penyidikan
- Penuntutan
- Eksekusi
Berkenaan dengan upaya pencegahan peran serta perguruan tinggi juga memiliki pengaruh terhadap pencegahan tindak pidana korupsi, namun berdasarkan fakta umum bahwa pelaku yang terjerat tindak pidana korupsi hampir secara keseluruhan adalah berpendidikan tinggi. Maka diperlukan adanya clean and good governance dan peran masyarakat, selain itu diperlukan adanya good corporate governance dan dalam komunitas pendidikan diperlukan adanya koalisi-koalisi masyarakat anti korupsi dan pengenaan sanksi social, menginggat perguruan tinggi tidak saja sebagai focus pada gutput dalam menghasilkan intelektual tetapi juga dapat berperan dalam menghasilkan sistem nilai.
- Edukatif
VI. PENUTUP
- Pemberantasan korupsi merupakan tanggung-jawab kita bersama, namun upaya-upaya tersebut tentunya tetap berlandaskan peraturan perundang- undangan yang ada (kepastian hukum) dan pemahaman peran masing-masing lembaga, sehingga makna negara hukum dapat tercapai tujuannya dan secara internasional mendapat pengakuan dari negara-negara lain terkait keamanan hukumnya.
- Partisipasi masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi merupakan langkah maju suatu negara yang demokratis, melalui keterbukaan informasi sebagai pintu kontrol dan evaluasi terhadap perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara.
- Peran lembaga penegak hukum dengan masing-masing kewenangannya memiliki peranan yang sangat strategis untuk menciptakan pemberantasan korupsi yang bersinergi satu dengan lainnya, tidak saja terkait masalah penanganan perkara namun juga terkait dengan pencegahaan dan meningkatkan kepercayaan publik.
*Makalah disampaikan pada saat Pengukuhan Pengurus DPD Kutai Kartanegara