Menyambut hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia 2014, kami GMPK bersama-sama dengan KPK mendukung penyelenggaraan kegiatan ART & MUSICAL CAMP 2014 yang diselenggarakan pada tanggal 15 sampai dengan 17 Agustus 2014, bertempat di wilayah Puncak Bogor, yang diikuti lebih dari beberapa peserta yang terdiri dari anak-anak remaja dan dewasa, dalam acara lomba melukis dan seni musik dengan tema Pendidikan Anti Korupsi sejak usia dini.
Pada kesempatan ini kami segenap Pengurus DPP dan DPD Perhimpunan Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi mengucapkan Dirgahayu Republik Indonesia yang ke 69, semoga di tahun mendatang dimana kita mendapatkan Pimpinan Pemerintahan yang baru, kita segenap warga bangsa boleh menggantungkan harapan kepada beliau-beliau itu suatu perubahan kondisi bangsa kearah yang lebih baik sehingga impian kita bersama yaitu terwujudnya suatu Masyarakat yang adil makmur di tengah-tengah pergaulan hidup bangsa -bangsa di dunia sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD'45 semakin mudah kita capai.
Pada kesempatan ini ijinkanlah kami mengajak melakukan introspeksi bersama sudah seberapa jauh cita-cita nasional itu telah tercapai, dalam kurun waktu 69 tahun ini. Ternyata kita saat ini tersandera oleh mengguritanya korupsi yang melilit di hampir seluruh bidang kehidupan kita dan di segenap lapisan masyarakat dan birokrasi. Korupsi merupakan penyakit kronis yang diderita bangsa ini dalam meraih cita-cita nasionalnya.
Korupsi merupakan Penyakit utama yang diderita bangsa ini, yang merupakan ancaman bagi upaya mencapai cita-cita nasional itu. Kita semua tahu bahwa Korupsi telah melanda negeri ini sejak lama, VOC bangkrut karena dilanda korupsi, kemudian dilanjutkan oleh Pemerintahan Hindia Belanda, yang dikalahkan oleh balatentara Dai Nippon, kemudian Jepang menyerah kepada sekutu, selanjutnya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan oleh rakyat Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno - Hatta, dengan memberlakukan semua peraturan yang berlaku pada saat penjajahan Belanda, yang sampai dengan sekarang masih belum semuanya direvisi.
Peraturan Hindia Belanda yang ternyata banyak yang bersifat koruptif telah diwarisi oleh bangsa ini, sehingga tidak mustahillah apabila pelaksanaannya pada Era Orde Lama, dilanjutkan oleh Orde Baru dan diteruskan oleh Orde Reformasi telah membawa bangsa ini ke dalam kubangan korupsi, yang seolah telah menjadi kebiasaan dalam ber-masyarakat, berbangsa dan bernegara. Penegakan Hukum yang seharusnya menjadi kunci jawaban dalam penanggulangan korupsi ternyata telah tejebak ke dalam perilaku Koruptif pula. Kemudian dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang nampaknya telah sedikit memberikan harapan kepada masyarakat bangsa untuk terbebas dari jerat korupsi. Namun dengan hanya mengandalkan KPK saja, dengan masih berorientasi kebelakang dalam penanggulangan Korupsi, ternyata Korupsi tidak kunjung dapat di-tanggulangi secara signifikan.
Walaupun sudah banyak pejabat publik dari segenap eselon dan Lembaga serta para pengusaha yang ikut melakukan perbuatan korupsi telah ditindak dan dihukum, namun nuansa korupsi masih kental dan bahkan pada suatu situasi tertentu sepertinya "tidak mungkin perbuatan korupsi itu bisa dihindari", karena menyangkut kelancaran usaha, dimana tanpa "uang siluman" semua urusan tidak bisa jalan. Oleh karena itu kondisi korupsi di Indonesia hingga saat ini masih bersifat: mewabah, sulit diatasi / diberantas, modus operandinya beragam dan berubah makin canggih, sementara itu aktualisasi political will belum sesuai dengan yang diharapkan (dikerjakan setengah hati).
Kondisi korupsi di Indonesia sudah MEWABAH dengan indikasi : korupsi terjadi di hampir seluruh lapisan masyarakat, hampir di seluruh bidang kehidupan (gatra) bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, jenis korupsinya beragam, dan terdapat anggapan bahwa korupsi sudah merupakan KEBIASAAN, serta banyaknya laporan dan ketidakpuasan masyarakat tentang perilaku korupsi di hampir seluruh pelosok negeri.
Korupsi SULIT DIATASI / DIBERANTAS, karena : sebagian besar terlibat (paling tidak, pernah melakukan korupsi di masa lalu), persepsi penegak hukum berbeda dalam penegakan hukum korupsi (dengan berbagai alasan "pembenar", sehingga masih dijumpai makelar kasus atau mafia peradilan), disparitas penghasilan mencolok antara petugas / pegawai / karyawan yang jujur (hanya terima gaji) dengan mereka yang mau kolusi dengan koruptor, sementara itu hasil deteksi kasus masih ada yang tidak ditindak lanjuti (dengan berbagai macam alasan "pembenar").
Kondisi MODUS OPERANDI beragam dan berubah makin canggih, dengan indikasi dilakukan secara terang-terangan (merupakan rahasia umum, kebanyakan para pelaku berlindung pada peluang yang didapat dari lemahnya aturan, "disepakati bersama" dengan pemangku kepentingan. Apabila diramaikan dalam media atas perbuatan curangnya, para pelaku yang "budiman" itu selalu menyangkal dan selalu "minta dibuktikan" secara legal, sementara itu mafia peradilan masih bergentayangan. Pada saat ini sifat terang-terangan ini sudah mulai ditinggalkan (tidak ada yang dilakukan lagi melalui transaksi perbankan); dilakukan secara terselubung, nah cara ini yang kebanyakan dilakukan dengan memanfaatkan celah aturan yang memberi peluang korupsi; selain itu ada juga yang tertangkap melakukan korupsi karena ketidak mengertiannya (tidak sadar kalau perbuatannya termasuk tindak pidana korupsi). Sementara itu motifnyapun bermacam-macam, ada yang karena kebutuhan (needs) dengan mencari penghasilan terselubung (hidden income), serakah (greeds) dengan memperkaya diri sendiri, atau memperkaya orang lain, bahkan ada yang dijadikan sebagai sumber keuangan kelompok dan ada juga korupsi yang dijadikan sebagai mata pencaharian (criminal) yang berlindung dengan kedok "staf ahli", atau yang terang-terangan bertindak sebagai perantara (broker).
Sementara itu Pemerintah telah melakukan upaya-upaya menang-gulanginya melalui berbagai aturan dari Undang-undang sampai dengan keputusan ataupun instruksi presiden, namun didapatkan sinyalemen bahwa AKTUALISASI POLITICAL WILL tidak atau kurang dapat dijalankan atau dijalankan secara setengah hati, dengan indikasi:
KPK yang diharapkan menjadi ROLE MODEL dalam hal: penggajian berdasarkan penilaian kinerja, penerapan kode etik. pembiayaan operasi (et cost), ketentuan pensiun diubah menjadi Tunjangan di Hari Tua (THT), tidak atau enggan diikuti oleh instansi birokrasi pada umumnya. Mereka masih senang melakukan kebijakan "pemborosan" seperti : perjalanan dinas masih menggunakan lumpsum (kerja 3 hari dianggarkan 6 hari, masih juga mau diberi "oleh-oleh" oleh yang dikunjungi sehingga "berangkat penuh dengan TANTANGAN, pulang-nya penuh dengan TENTENGAN"), memanipulasi "bording pass"; pemberian pensiun kepada anggota DPR - Rl (yang bertugas selama lima tahun mendapatkan uang pensiun selama sisa hidupnya), juga para menteri dan pejabat public lainnya, yang waktu kerjanya hanya maksimum 5 tahun, dll.
Selain itu pemberantasan korupsi hanya dilakukan secara represif saja dan berorientasi kebelakang. Padahal upaya preventif dan preemtif akan lebih berhasil guna, namun kurang dimaknai sebagai suatu pekerjaan yang dipikul bersama oleh semua komponen bangsa (paling tidak diikuti oleh aparat birokrasi). Pemberantasan korupsi seolah-olah hanya dipikulkan bebannya kepada KPK saja, bahkan aparat penegak hukum yang lain seolah-olah merasa disaingi oleh KPK, walaupun mereka meng"klaim" telah melakukan pemberantasan korupsi lebih banyak dari yang dilakukan oleh KPK, namun nyatanya kepercayaan public terhadap KPK lebih besar daripada Kepolisian dan Kejaksaan; Berorientasi kebelakang artinya kasus-kasus yang telah lalu diungkit-ungkit kembali, padahal apabila systemnya masih korup, maka siapapun (Kiai sekalipun) yang ditempatkan disitu akan terjerat korupsi pula.
Penjabaran instruksi presiden dan ketentuan-para menteri kurang diikuti dengan perubahan PERILAKU, tapi hanya sebatas wacana berupa ncana dan pelaporan yang hasilnya nyatakan "baik-baik" saja, sementara itu korupsi masih terjadi pada lembaga yang bersangkutan;
Paham pragmatisme telah merasuki di hampir semua lapisan dan bidang kehidupan masyarakat, sehinngga korupsi dianggap sebagai kebiasaan yang biasa dilakukan sehari-hari, dan apabila ada yang tertangkap oleh KPK dianggap sebagai suatu nasib sial (apes) saja, karena para pelaku tahu bahwa untuk memperlancar suatu kegiatan biasanya dilakukan dengan cara-cara seperti itu (korupsi). Sehingga tidak heran apabila JARINGAN korupsi yang telah terbentuk, masih berjalan dengan aman. sekalipun yang bersangkutan (TOKOHnya) sudah di berada dalam penjara karena sedang apes.
Oleh karena itu Pemerintahan Baru 2014 - 2019 diharapkan menjadi Pembuka jalan dalam upaya menghentikan mengguritanya korupsi di negeri ini dengan mengambil kebijakan-kebijakan antara lain:
Berorientasi kedepan dengan membuat kebijakan moratorium dan rekonsiliasi perilaku korupsi dimasa lalu (yang dicurigai / dilaporkan korupsi diberi kesempatan untuk mengembalikan hasil korupsinya diberi batasan waktu, setelah batas waktu dilewati kita lakukan pembuktian terbalik dengan mempertang-gung jawabkan harta kekayaan yang dimilikinya);
Pembangunan mentalitas bangsa (revolusi mental) dengan menggarap moral bangsa melalui pendidikan anti korupsi sejak dini; membangun tradisi anti korupsi, menerapkan etika bisnis dalam berusaha, membangun pulau-pulau integritas (islands of integrity) baik pada entitas public (Birokrasi), entitas privat (pengusaha) dan entitas social (perhimpunan social, lembaga social masyarakat, dan partai politik).
Membersihkan penegakan hukum dari anasir korupsi (melalui perbaikan materi hukum baik materiil maupun formil yang memberi peluang korupsi, membersihkan aparat hukum yang berperilaku koruptif, memperbaiki dan atau melengkapi sarana prasarana penegakan hukum dan membangun budaya taat pada hukum baik bagi aparat penegak hukum, aparat birokrasi maupun masyarakat pada umumnya).
Membangun Kesistiman yang mengatur kehidupan Bangsa yang tidak membuka peluang korupsi dengan prioritas Sistem Politik, Sistem Ekonomi dan Sistem Hukum, agar system politik terbebas dari cengkeraman "money politics"; system ekonomi terbebas dari kebiasaan memberi dan menerima "uang siluman" agar lancar urusannya, dimaafkan apabila ada persyaratan yang kurang dan tidak diambil tindakan; system hukum agar terbebas dari mafia hukum atau makelar kasus.
Memberdayakan segenap komponen Bangsa dalam penangulangan korupsi melalui 5 (lima) Pilar Penanggulangan Korupsi, yaitu
Deteksi untuk mendapatkan indikisi dan membuat prediksi kemungkinan terjadinya korupsi, menemukan kerawanan korupsi dan potensi masalah penyebab korupsi;
Preemtif untuk menangani masalah pada hulu permasalahan (system yang masih membuka peluang korupsi, degradasi moral / mentalitas bangsa, penghasilan yang tidak rasional yang memicu dilakukannya penghasilan terselubung; pengawasan yang lemah sehingga membiarkan berlangsungnya korupsi; dan membangun Budaya Taat kepada Hukum sejak usia dini disegenap bidang kehidupan dan seluruh lapisan masyarakat dan birokrasi;
Preventif untuk mengatur, menjaga, mengawasi dan menertibkan lokasi rawan korupsi (masuknya keuangan Negara melalui perpajakan, PNBP dan BUMN/BUMD, proses pengeluaran atau penggu-naan keuangan Negara melalui proses rencana perencanaan anggaran, dan lokasi-lokasi yang terdapat disparitas yang mencolok antara penghasilan petugas dengan peredaran uang disitu); Manusia rawan Korupsi dengan menyeleksi integritas moral dan kompetensi yang dimiliki serta konsistensinya dalam berperilaku baik pada saat rekrutmen karyawan maupun pada kegiatan pemilihan pejabat penyelenggara Negara; Barang-barang yang rawan dikorupsi seperti BMN (Barang Milik Negara), barang-barang titipan di Rubasan atau ditempat sitaan atau rampasan pada proses penegakan hukum serta pengelolaan sumberdaya alam; Kegiatan yang rawan korupsi seperti proyek-proyek pembangunan. pengadaan barang dan jasa, perijinan / pelayanan publik, penegakan hukum dan kegiatan administrasi negara pada umumnya seperti pertanahan dan Iain-Iain; Pembuatan kebijakan publik, seperti pembuatan kontrak dengan pihak luar negeri baik dalam rangka investasi, perdagangan, alih teknologi, investasi, pengelolaan sumber daya alam dan sebagainya yang menguntungkan pihak lain dan merugikan kepentingan nasional, kebijakan yang bersifat pemborosan, hutang luar negeri dll.
Represif, masih belum bersinergi masih bekerja sendiri-sendiri dan memiliki arogansi sektoral, disatu sisi memberantas korupsi di sisi lain ada yang digunakan "melindungi" kepentingan pejabat tertentu / kelompok tertentu (konflik kepentingan), dan belum melibatkan segenap komponen bangsa.
Rehabilitasi, pemulihan kerugian Negara, dengan mengejar dan menelusuri asset Negara yang dikorupsi baik di dalam dan di luar negeri, memulihkan akibat korupsi disuatu tempat yang memiliki potensi sumberdaya yang tinggi (PAD tinggi misalnya) sehingga tidak dikorupsi lagi oleh pejabat setelahnya, membina koruptor agar tidak melakukan korupsi lagi dll.
Apabila upaya secara komprehensif ini dilakukan ,insya Allah kita dapat segera mengurai mengguritanya korupsi di negeri tercinta ini, sehingga dengan demikian penyakit kronis bangsa ini dapat dihapuskan dari perjalanan bangsa menuju Indonesia Tanpa Korupsi yang mengantarkan kita kepada cita-cita nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa meridhoi usaha kita bersama.