Sering kali kita melihat, mendengar dan mengamati, kasus korupsi mencuat dipermukaan dan kebetulan di ekspose dimedia masa dengan identifikasi tersangka si A dan si B yang tidak kita sangka sebelumnya. Artinya orang yang kita anggap baik selama ini ternyata melakukan perbuatan tercela dan melanggar hukum. Dan atas kasus ini ada dua kategori pendapat atau pemahaman utama yang digambarkan dengan berbagai simbol dan atau sifat air, yaitu anomali dan penomena gunung es.
Pada kasus, seorang pejabat/aparatur negara ketahuan melakukan tindakan korupsi dan terekspose dimedia masa, biasanya dengan cepat tindakan pimpinan instansi yang bersangkutan mengatakan “itu adalah oknum”, tidak bisa digeneralisasi. Dalam bahasa lain terminologi oknum adalah anomali, suatu sifat yang berlainan dari kaidah, norma atau hukum alam. Dalam ilmu alam, anomali yang terkenal terjadi pada air dengan suhu 4 derajat celcius. Dalam kasus korupsi dan terminologi oknum yang dimaksudkan oleh pejabat, diprediksi mempunyai makna sebagai berikut:
- Organisasi/instansi masih tetap tergolong bersih, hanya satu dua orang yang melakukan korupsi (yang lain tidak).
- Organisasi tidak perlu melakukan perubahan apa apa, karena kasus korupsi itu hanya sebagai anomali saja. (ada rasa keengganan yang luar biasa untuk merespon kasus dan melakukan evaluasi).
- Organisasi telah menempatkan posisi pimpinan pada kursi yang prestisius dan nikmat, sehingga tak perlu diganggu dengan kasus kasus yang muncul.
Sebutan oknum/Anomali ini menjadi sedemikian digunakan sebagai perisai para pimpinan, sehingga sulit rasanya menunggu perubahan dan perbaikan.
Ketua perhimpunan GMPK (gerakan masyarakat perangi korupsi), Dr. Bibit Samad Rianto, mantan pimpinan KPK dalam berbagai kesempatan tentang pemberantasan korupsi, menggambarkan kasus korupsi sebagai penomena gunung es. Tengoklah sejarah kesombongan Kapal Titanic, yang tenggelam oleh gunung es tahun 1813. Sebagai seorang mantan pejabat KPK dan Polda Kal-Sel tentu saja beliau mempunyai refernsi kasus korupsi yang lengkap dan tidak diragukan lagi, termasuk intrik intrik didalam penanganannya.
Dalam pemahaman penomena gunung es, sebagai simbol korupsi digambarkan sebagai berikut:
- Yang muncul dipermukaan tidak semua bisa dijerat kasus hukumnya. Masyarakat sudah tahu bahwa didepan mata banyak kejanggaran yang teridentifikasi korupsi, akan tetapi tidak bisa dijerat dengan hukum. Banyak masalah dan kendala dilapangan. Guyonan anggota DPRD saat santai main badminton di malam hari mengatakan “bila kasus hukum ditegakkan untuk kasus korupsi, penjara tidak muat lagi”. Pemahaman ini menyimpulkan KPK, Polisi, Kejaksaan tak akan mampu menyelesaiakan kasus korupsi yang ada dipermukaan. Terlalu banyak.
- Dibawah permukaan ada badan gunung es yang kokoh dan kuat sekali, kita sebut sebagai “potential hazard” korupsi. Potential ini akan siap muncul setiap saat. Potensi ini adalah identifikasi rawan korupsi. Banyak sekali yang teridentifikasi sebagai daearah “rawan korupsi”, terutama instansi dimana terdapat prose/aliran uang dari dan ke negara. Instansi terkait penerimaan, instansi terkait pengeluaran, instansi terkali proses pengawasan. Potential hazard ini tidak tampak dipermukaan, tapi siap muncul di permukaan.
- Dibawah potential hazard, ada pondasi gunung es. Pondasi ini berupa norma dan budaya masyarakat terkait isu korupsi. Masyarakat yang tingkat pendidikannya yang rendah, miskin, tingkat persaingan yang tidak fair tanpa disadari merupakan penyangga gunung es sedemikian kuatnya. Tanpa menyelesaikan masalah pondasi gunung es, maka badan gunung es dan es yang timbul dipermukaan tidak akan selesai.
Kita yang bergerak di GMPK harus sadar sesadar-sadarnya, bahwa konsep gunung es yang diintroduksi oleh Ketua GMPK menjadi kerangka berpikir kita dalam upaya memerangi korupsi. Kita menolak tegas konsep oknum dan anomali. Kita sadaqr KPK, kepolisian dan Kejaksaan tak akan mampu menyelesaikan kasus korupsi. Harus melibatkan segenap unsur masyarakat dan bekerja secara sinergi.
Dalam hal peran dan keterlibatan memerangi kasus korupsi, GMPK perlu mengambil peran penting, dibagian mana GMPK harus bekerja. Penulis mengusulkan agar GMPK mengambil peran untuk mereduksi “potential hazard” dengan alasan yang ada dipermukaan adalah domain penegak hukum formal. Dan yang ada didasar (pondasi gunung es) adalah domain unsur pemerintah untuk membangun infrastruktur dasar kemanusian, membangun norma dan budaya masyarakat agar masyarakat mempunyai awareness (kesadaran) tentang pentingnya pemberantasan korupsi.
Bilamana GMPK memilih posisi dilevel penanganan “potential hazard” maka segenap tenaga harus diarahkan untuk:
- Melakukan kajian, riset dan peneliatian yang masif, dimana saja prioritas potensi korupsi.
- Mendesak instansi pemerintah untuk menerapkan suatu sistem, yang memasukkan isu korupsi menjadi agenda kerja utama.
- Mendesak pemerintah untuk membuka akses keterbukaan (transparansi).
- Melibatkan masyarakat dalam penilaian atas, kinerja instansi pemerintah.
GMPK telah menghimpun dan menyusun kekuatan masyarakat agar mempunyai kesadaran terhadap praktik korupsi, selanjutnya mari kita bersama sama turut serta mengambil peran untuk memerangi korupsi.
Salam Anti Korupsi
Dr. Jadi Suriadi
GMPK DPD Banten