Korupsi sudah mewabah di segenap lapisan masyarakat, telah menjadi penyakit yang kronis bagi masyarakat, bangsa dan Negara Republik Indonesia yang kita cintai. Reformasi yang semula dirancang dan dikumandangkan oleh Civiel Society untuk melawan korupsi yang terjadi di dalam pemerintahan Orde Baru ternyata telah menemui jalan buntu atau paling tidak jalan ditempat, dimana pemerintah saat ini baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif telah terjebak di dalam suasana koruptif, sehingga siapapun dalam posisi itu akan terjebak korupsi.
Pemerintah dalam Era Reformasi telah membuat langkah-langkah formal yang positif untuk memerangi korupsi melalui ketetapan MPR, Undang-Undang tentang Pemerintahan yang bersih dari KKN, merubah Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan membentuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), yang telah bekerja dengan optimal namun aktualisasi penjabaran Political Will dari Pimpinan Negara kurang dilakukan dengan baik dan sepenuh hati, sehingga akibatnya korupsi makin marak dan makin canggih dilakukannya. Hal ini diperparah lagi dengan makin menguatnya sikap pragmatisme di sebagian besar masyarakat dan fungsionaris, yudikatif dah eksekutif.
Korupsi merupakan Fenomena Gunung Es (Ice Berg Fenomena), dimana Tindak Pidana Korupsi (TPK) hanya kelihatan sedikit yang muncul di permukaan air laut yang merupakan puncak gunung es. TPK terjadi manakala ada niat melakukan korupsi, ada kemampuan berbuat korupsi, ada peluang melakukan korupsi dan ada sasaran yang cocok untuk dikorupsi (di beberapa kasus sasaran tersebut direncanakan bersama terlebih dahulu, apabila telah terjadi KPK, aparat penegak hukum melakukan tindakan represif (mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan serta eksekusi hukuman).
Penegakan hukum tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme sangatlah tidak optimal dan hanya merupakan SLOGAN semata, hal ini dapat dilihat dalam pelaksanaan uji kepatutan dan kelayakan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III terhadap Komjen (Pol) Budi Gunawan sangatlah tidak bijak dan terkesan terburu-buru karena sehari sebelum pelaksanaan uji kepatutan dan kelayakan dan menetapkan Komjen (Pol) Budi Gunawan sebagai Kepala Polri, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menetapkan Komjen (Pol) Budi Gunawan sebagai tersangka dalam kasus suap dan gratifikasi.
Merujuk undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia Pasal 11 Ayat 3 dimana Dewan Perwakilan Rakyat memiliki waktu 20 (Dua Puluh) hari sejak tanggal surat Presiden diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk menerima atau menolak surat pencalonan Presiden tentang Kepala Polri, ironisnya Dewan Perwakilan Rakyat Komisi III DPR RI menetapkan dan mengangkat Komjen (Pol) Budi Gunawan sebagai Kepala Polri secara Aklamasi.
Pernyataan sikap Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK) :
- Menolak pelantikan Komjen (Pol) Budi Gunawan sebagai Kepala Polri.
- Mendukung KPK usut tuntas kasus korupsi yang melibatkan penyelenggaraan Negara.
- Mendorong KPK mempercepat proses hukum Komjen (Pol) Budi Gunawan dalam kasus suap atau gratifikasi.
- Wujudkan segera 9 program prioritas atau nawa cita menuju perubahan Indonesia.
- Optimalkan penegakan hukum tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.